Monday, September 04, 2006

Mother Driver? Yes!




Tiap kali suami dinas keluar kota saya selalu susah. Apalagi kalau jatuhnya hari weekend. Bukannya karena curiga pada suami atau lain sebagainya, tapi karena dengan perginya suami keluar kota berarti saya atau anak-anak tidak bisa pergi-pergi. Masalahnya satu-satunya driver di rumah kami adalah suami. Kalaupun ngotot mau jalan-jalan, itu berarti saya dan anak-anak harus naik angkot atau bus. Nggak kebayang deh berendeng-rendeng dengan anak-anak yang masih kecil-kecil naik turun angkot. Bukannya sok borjuis. Tapi kedua anak saya adalah jenis jagoan cilik yang tidak mau diam, pun bila di dalam mobil. Bisa-bisa belum sampai tujuan sudah disuruh turun oleh supir atau penumpang angkot lainnya yang merasa terganggu dengan tingkah 'kelinci-kelinci' saya itu. Maklum, mereka (terutama yang sulung) kalau di dalam mobil suka nyanyi-nyanyi sambil berteriak, pindah dari kursi belakang ke kursi depan atau loncat-loncat.

Mau nyetir sendiri, saya kok belum berani ya. Bukannya tidak bisa. Saya dulu sempat, lho, wara-wiri kesana kemari bawa mobil sendiri sebelum naas menubruk pohon saat jalan-jalan menuju Bojong Gede. Alhamdulillah, saya tidak luka segores pun. Namun sejak saat itu, tiap mencoba duduk di belakang kemudi saya langsung keringat dingin. Mungkin ini yang dinamakan trauma. Padahal kejadiannya sudah hampir tujuh tahun yang lalu. Sempat juga terpikir mau ke psikiater untuk berobat, tapi malah diketawain suami. Wah gengsi juga saya.

Kemarin Sabtu mau tidak mau saya mengantar si sulung berenang dengan teman-teman sekolahnya. Padahal suami sedang dinas ke Jogja. Terpaksalah saya dan si sulung naik angkot menuju kolam renang yang ditetapkan oleh sekolah. Untungnya selama di perjalanan si sulung anteng jadi saya agak legaan sedikit. Tapi pas giliran mau turun, ternyata anak saya tertidur (mungkin karena angin semilir dari jendela angkot yang saya buka). Waduh, saya kerepotan membopong si sulung yang lumayan 'ndut' itu turun.

Kalau sudah begitu, lagi-lagi saya bertekat dalam hati mau mulai 'bawa' mobil sendiri lagi. Apalagi kalau teringat betapa enaknya adik saya yang bisa pergi kesana kemari dengan Panther-nya tanpa tergantung pada suami. Padahal dulu kursus setir mobilnya barengan saya, lho. Belum lagi melihat Ibu-ibu teman anak saya yang dengan mahir membawa mobil menjemput anaknya sekolah. Terus terang saya jadi iri. Jadi, tunggu tanggal mainnya ya. Mulai minggu depan, saya akan belajar lagi menyetir mobil. Mother Driver? Yes!