Friday, February 24, 2006

Zikir, Fikir & Ikhtiar

Kadang suatu keadaan memaksa kita untuk melakukan suatu hal yang selama ini kita anggap tidak dapat kita lakukan. Saya pernah melihat berita di TV dimana seorang Ibu mampu mengangkat sebuah mobil sedan seorang diri untuk menyelamatkan putranya yang terjepit di bawah mobil tersebut. Setelah melakukan atraksi luarbiasa tersebut, si ibu yang kemudian diwawancara juga tak habis pikir bagaimana bisa ia melakukannya. Dalam keadaan terjepit, Allah memberikannya kekuatan untuk menolong anaknya. Subhanallah.

Namun ilustrasi di atas mungkin terlalu ekstrem untuk memulai cerita saya. Sebenarnya saya hanya ingin mengantar anda kepada suatu kesimpulan bahwa dalam keadaan kepepet, manusia bisa melakukan apa saja - bahkan mengangkat sebuah mobil sedan seorang diri seperti fragmen di atas tadi. Oke, saya mulai saja ya:

Sejak dulu saya memang mempunyai cita-cita untuk berwira-usaha. Saya ingin mempunyai sebuah toko baju muslim yang dilengkapi dengan taman bermain, toko buku, kafe, salon dan butik. (Istilah kerennya 'one-stop shoping for mom and kids. Jadi di toko saya itu Ibu-ibu bisa asik memilih-milih baju di butik atau creambath di salon, sementara anak-anaknya dititipkan di taman bermain ataupun di toko buku. What a dream !).

Tapi cita-cita tersebut rasanya sangat jauh di awang-awang. Banyak kendala yang harus saya lalui untuk mewujudkannya. Pertama, keterbatasan modal (klise ya). Lalu kedua, belum ada keberanian (klise lagi, ihik). Dan yang ketiga (semoga yang terakhir) belum ada kesempatan. Kebetulan saya seorang Ibu pekerja yang sehari-hari waktunya habis di kantor dan mengurus rumah tangga. Mana sempat...

Cita-cita saya tersebut terus menghiasi diary saya di tiap awal tahun sebagai salah satu resolusi yang harus saya wujudkan di tahun tersebut. Seperti biasa, ketika tiba di akhir tahun saya mendapati ternyata resolusi yang satu ini, lagi-lagi masih belum bisa terlaksana.

Tapi tidak untuk tahun ini. Saya sadar untuk memulai sesuatu, kita tidak harus melakukannya dari yang besar. Dari yang kecil-kecil dulu, InsyaAllah, bisa menjadi besar. Alhamdulillah, sejak pertengahan Januari lalu saya sudah memulai bisnis baju muslim wanita secara kecil-kecilan. Kebetulan eks penjahit Ibu saya (dulu Ibu saya mempunyai konveksi baju-baju seragam) mau membantu. Dengan modal ala kadarnya, dan dukungan dari suami dan keluarga besar, saya mulai berproduksi. Hingga kini memasuki satu bulan, dagangan saya sudah mulai banyak yang laku dan beberapa kios di ITC seputar Jakarta bersedia saya titipi. Sebuah prestasi awal yang membuat saya bersemangat. Nggak papa toh titip-titip dulu, InsyaAllah, suatu hari bisa punya toko sendiri seperti yang saya impi-impikan selama ini.

Kenapa tidak dari dulu-dulu ya? Ternyata toh kalau sudah dijalani, ada saja waktunya, ada saja jalannya untuk mewujudkan suatu cita-cita. Setelah dipikir-pikir, sebenarnya sih faktor yang utama adalah keberanian untuk memulai. Ya, selama ini ternyata saya tidak berani untuk mulai mewujudkan cita-cita saya! Semua itu didasari oleh rasa takut gagal dan merasa tidak mempunyai jiwa wirausaha.

Lalu apa yang membuat saya berhasil mengalahkan semua ketakutan saya itu? Tak lain dan tak bukan karena kepepet. Kepepet ingin mempunyai penghasilan tambahan di tengah menjulangnya kenaikan harga-harga barang kebutuhan pokok. Tiba-tiba saya harus berpikir keras untuk memutar uang gaji saya dan suami untuk biaya hidup sehari-hari. Saya berusaha menggali bakat-bakat terpendam saya. Salah satunya adalah mendesain baju dan sedikit keahlian menyulam. Lalu sebuah ide muncul di kepala. Bagaimana kalau memproduksi baju muslim dengan harga terjangkau tapi dengan mutu yang tak kalah dengan yang di butik? Why not? Apalagi sekarang baju muslim dengan sulaman tangan sedang in dan harganya bisa mencapai tus-tusan ribu. (Tapi jangan khawatir, baju muslim produksi saya bisa dijangkau dengan harga di bawah tus-tusan kok. Kualitasnya? InsyaAllah tidak kalah deh. Hehehe, sekalian promosi :-)

Sayapun lalu menyuarakan niat saya pada suami. Alhamdulillah beliau mendukung. Kami pun mengorek tabungan. Menghitung-hitung dan membuat feasibility study (ceile!). Saya lalu menghubungi Ibu saya, minta nomor telepon eks penjahitnya. Gayung ternyata bersambut. Sang penjahit rupanya juga sedang butuh kerjaan. Ibu saya pun bersedia ikut membantu menyulam. Maka, mulailah kami berproduksi.

Sekarang saya boleh berbangga karena saya sudah berhasil mewujudkan cita-cita saya. Memang sih, ini semua masih merupakan langkah awal. Jalan ke depan masih panjang dan berliku. Tapi semua itu, InsyaAllah, akan saya coba jalani dengan niat dan tekat kuat. Seperti kata Aa Gym: Zikir, Fikir dan Ikhtiar. Amin.

Tuesday, February 07, 2006

My life is fulfilled!

Dua minggu terakhir ini merupakan pengalaman yang luar biasa untuk saya. Pembantu saya terpaksa saya pulangkan karena sakit cacar air, sementara pembantu saya lainnya sudah pulang lebih dahulu sebulan sebelumnya untuk menikah di kampung. Otomatis, saya sama sekali tidak mempunyai pembantu di rumah. Padahal saya seorang ibu yang bekerja dengan dua orang anak yang masih kecil-kecil (yang sulung berumur lima tahun dan yang bungsu belum genap 4 bulan). Bisa kebayang kan betapa repotnya. Cuti? Oho, baru saja selesai cuti melahirkan tempo hari masak mau cuti lagi?

Dalam keadaan force majeur seperti ini, siapa lagi kalau bukan Ibu saya yang menjadi tempat tumpuan harapan. Setiap hari saya titipkan kedua anak saya kepada Ibu saya yang hanya mempunyai seorang pembantu. (Ihik, sebenarnya tidak tega juga merepotkan Mamah, tapi bagaimana lagi?). Setiap pagi saya, suami dan anak-anak seperti bedol desa keluar dari rumah sebelum matahari di ufuk timur benar-benar tersenyum. Pertama menuju rumah Ibu saya untuk menitipkan si adik bayi, setelah itu mengantar si sulung ke sekolah yang jaraknya lumayan cukup jauh dari rumah Ibu saya (Untunglah kami sudah mempunyai seorang tukang ojek langganan yang bisa mengantar anak saya ke rumah eyangnya saat pulang sekolah). Baru terakhir kami berangkat bekerja. Malamnya sepulang kerja kami mampir lagi ke rumah Ibu saya untuk menjemput anak-anak kembali.

Capek? Tentu saja. Apalagi kalau siangnya di kantor pekerjaan sedang banyak banget. Malah kadang saking capeknya, keluar deh betenya saya yang sering bikin suami jadi ikut-ikut jengkel. Kalau nggak kuat-kuat menahan diri, pasti akhirannya bisa jadi bertengkar mulut. Tapi di tengah kekacauan ini, saya diam-diam mengucap syukur kepada Allah. Saya mempunyai keluarga besar yang sangat mendukung. Tanpa mereka, terutama Ibu saya, saya pasti sudah KO di tengah jalan. Saya juga berterima kasih kepada suami yang mau ikutan repot, yang mau bahu-membahu mengurusi pekerjaan rumah tangga termasuk menidurkan si bayi sewaktu saya repot cuci piring tadi malam. Subhanallah, cobaan yang sedang saya alami ini malah membuat hidup saya terasa fulfilled sehingga tanpa sadar saat saya akrobat menyiapkan sarapan sambil memandikan si sulung pagi tadi saya sempat bersiul-siul kecil dengan hati bahagia. Alhamdulillah.