Friday, January 28, 2005

Abu and Tanah Rencong

His friend called him Abu
But only few knew his given name
He left to Tanah Rencong
With hope to become a succesful trasmigrant
and Tanah Jawa where he was born
was soon became a memory

A year after and his brother visited him
Proudly he showed him his land
riped with palawija ready to be harvested

Persistantly Abu persuaded his brother to stay
To help him to harvest the land
The night after the harvest, his brother was kidnapped
by a group of men with gun they said
In the morning they found the body
was hang in one of the palawija tree

Abu was in a great grief
Tanah rencong was not a nice place to live in anymore
He planned to return back to Java
Ready to leave all his dreams
But an hour before his flight due to leave
Tsunami took revenge
Gone all Abu's land
and so his life
in Tanah rencong





Sunday, January 16, 2005

Badai Tsunami

Bukan maksud saya latah bila saya juga ingin membicarakan mengenai musibah tsunami yang melanda Aceh dan Sumut. Dan saya yakin, tiap dari kita mempunyai perasaan trauma tersendiri akan peristiwa dahsyat yang tak terduga ini.

Terus terang, pada saat saya pertama kali mendengar kabar mengenai badai tsunami di Aceh dari berita pagi di sebuah stasiun televisi, saya tidak begitu peduli, karena saya pikir hanya sekedar banjir biasa seperti yang umum terjadi di daerah lainnya di awal musim hujan seperti sekarang ini. Tapi begitu siangnya saya melihat lagi berita tersebut di sebuah stasiun televisi dan mengetahui betapa dahsyatnya dampak yang diakibatkan oleh badai tersebut dan jumlah korban yang berjatuhan, baru saya merinding dan mengucap istighfar. Apalagi pada saat saya melihat mayat bayi-bayi yang telah tak bernyawa dan ibu-ibu yang meratapi kepergian mereka, tanpa sadar air mata saya jatuh. Saya dapat membayangkan betapa remuk redam hati para ibu yang ditinggalkan buah hati mereka.Ya Allah, semoga bayi-bayi suci itu tidak merasakan banyak penderitaan saat kau cabut nyawa mereka. Saya langsung teringat anak saya di rumah dan berucap syukur kami masih dijauhkan dari bencana tersebut.

Esoknya saya mendapat e-mail dari seorang sahabat mengabarkan adanya kesempatan bagi mereka yang ingin mengadopsi balita dari Aceh yang orang tuanya meninggal karena musibah tsunami. Saya yang memang selalu impulsif, langsung tertarik ingin mengadopsi. Tapi begitu saya bicarakan kepada suami, ia dengan kepala yang lebih dingin dari saya mengingatkan bahwa tidak mudah untuk mengadopsi seorang anak korban bencana. Biasanya mereka mengidap rasa trauma yang harus disembuhkan pelan-pelan dengan bantuan seorang ahli/ psikiater. Dan itu tidak mudah. Apakah kami sanggup, baik secara moril maupun materiil menyediakannya? Apakah kami siap? Uups...

Tapi saya tidak putus semangat untuk membantu. Saya segera mem-forward e-mail tersebut ke teman-teman saya lainnya yang saya pikir akan mau dan mampu mengadopsi anak-anak tersebut. Tak lama kemudian saya mendapat teguran keras dari salah satu teman yang saya kirimi e-mail tersebut. Dia mengingatkan kemungkinan adanya child traficking di belakang itu semua. Saya merinding. Ih, masak sih ada orang setega itu. Di tengah-tengah musibah yang meluluh-lantakkan negeri, apa benar masih ada orang yang kejam sekali melakukan jual beli anak berkedok menolong korban tsunami? Saya benar-benar tidak habis pikir.

Tapi ternyata temans, praktek keji tersebut memang benar-benar terjadi. Sampai-sampai Pak Yusuf Kala secara resmi mengeluarkan larangan keluarnya anak-anak korban tsunami dari Aceh tanpa sepengetahuan pemerintah. Sekali lagi saya mengucap istighfar. Ternyata masih ada yang lebih kejam daripada bencana alam. Pantas saja Allah murka.

Belum lagi mengenai sumbangan-sumbangan ataupun dompet amal yang diedarkan selama ini. Semua lembaga/ LSM/ Stasiun TV/ Stasiun Radio/ Badan Mahasiswa/ Partai politik dll. seperti berlomba-lomba mengumpulkan uang ataupun sembako serta baju-baju bekas layak pakai untuk disumbangkan ke Aceh. Banyak bisik-bisik miring mengatakan bahwa belum tentu semua sumbangan itu benar-benar sampai ke tempat yang dituju. Tapi ah, saya tidak mau berburuk sangka. Namun ada baiknya bila kita mencontoh Metro TV yang menggaet Ernst & Young untuk mengaudit sumbangan untuk Aceh yang masuk ke kas mereka. Dengan begitu, kita yang berniat menyumbang merasa lebih lapang dan omongan-omongan miring pun bisa dienyahkan...